PRASWAD Nugraha, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai pembebasan bersyarat (PB) terhadap terpidana perkara korupsi e-KTP Setya Novanto kado kemerdekaan yang menyakitkan.
Korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik alias e-KTP merupakan salah satu skandal terbesar dalam sejarah Indonesia. Kerugian keuangan negara akibat perkara ini mencapai Rp 2,3 triliun.
Menurut Praswad, vonis 15 tahun penjara terhadap Setya Novanto sejatinya simbol komitmen negara dalam memberantas korupsi kelas kakap. “Namun, perjalanan hukumnya kemudian penuh keringanan: remisi berulang, putusan PK (peninjauan kembali) yang mengurangi hukuman, hingga akhirnya pembebasan bersyarat,” ujar dia dalam keterangan resmi pada Senin, 18 Agustus 2025.
Secara hukum, pembebasan bersyarat merupakan hak setiap narapidana. Namun, korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga pemberian hak itu seharusnya dilakukan dengan selektif dan ketat. Jika serampangan publik akan menilai negara gagal memberikan efek jera terhadap koruptor. “Akumulasi keringanan yang diterima Setya Novanto berupa remisi, PK, hingga PB berpotensi menciptakan preseden buruk,” ucap Praswad.
Bebasnya Setya Novanto dapat membuat masyarakat menafsirkan jika hukum bisa diakali oleh koruptor kelas kakap. Menurut Praswad, hal ini bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang kerap digaungkan pemerintah, termasuk oleh Presiden Prabowo.
Praswad menuturkan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi harus selektif dengan indikator yang jelas. Misalnya, apakah pelaku telah kooperatif dalam mengembalikan kerugian negara, menunjukkan penyesalan nyata, serta memberikan kontribusi positif selama menjalani pidana.
Tanpa standar transparan dan akuntabel, ucap Praswad, pembebasan bersyarat akan dipersepsikan sebagai bentuk kompromi terhadap kejahatan luar biasa. “Pesan yang tersampaikan justru berbahaya, bahwa korupsi bisa dinegosiasikan.”
Pengurangan Hukuman Setya Novanto hingga Bebas Bersyarat
Setya novanto dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi e-KTP pada 24 April 2018. Ia divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Ia juga diharuskan membayar uang pengganti US$ 7,3 juta dan hak politiknya dicabut selama lima tahun.
Namun, Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali Setya Novanto pada 4 Juni 2025. Hukumannya dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan penjara. Masa larangan untuk menduduki jabatan publik juga dikurangi, menjadi 2 tahun 6 bulan.
Selama mendekam di penjara Setya Novanto juga beberapa kali mendapatkan remisi. “Total 28 bulan 15 hari,” kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan Mashudi kepada awak media di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Pusat pada Ahad, 17 Agustus 2025.
Mashudi menegaskan, Setya Novanto tak bebas sepenuhnya. Ia tetap wajib lapor hingga 1 April 2029 ke Balai Pemasyarakatan atau Bapas Bandung.
Pilihan Editor: Daftar Kepala Kejari Jaksel Sejak Putusan Silfester Matutina Inkrah