Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai bahwa penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) kini bukan lagi sekadar kewajiban perusahaan, melainkan telah menjadi kebutuhan.
Chairperson of ESG Task Force Kadin, Maria R Nindia Radyati mengatakan, perusahaan yang tidak mengimplementasikan ESG akan menghadapi berbagai kerugian, baik dari sisi biaya maupun daya saing.
Dia juga mengatakan ada sejumlah tantangan bagi perusahaan yang tak juga mengaplikasikan prinsip ESG dalam praktiknya. Salah satunya adalah keberadaan pajak karbon yang bisa mempengaruhi biaya operasional.
“Kemudian juga ada sekarang green procurement. Jadi green procurement ini kan tidak hanya perusahaan besar, nanti UKM pun juga harus tahu,” ujar Maria dalam acara malam Awarding SAFE 2025 di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (10/9).
Dia menjelaskan, sertifikasi keberlanjutan menjadi salah satu tekanan dari konsumen global. Tanpa sertifikasi seperti ISPO di Indonesia, RSPO di Eropa, atau IRMA untuk sektor tambang, perusahaan akan kesulitan masuk pasar internasional.
“Kalau tidak ada sertifikasi, konsumen tidak akan membeli, kalau tidak ada pembeli maka perusahaan akan mati,” tegasnya.
Tak hanya itu, Maria juga menyoroti peluang yang muncul dari implementasi ESG. Salah satunya adalah akses terhadap sustainability linked loan (SLL), yang menawarkan bunga lebih rendah jika target ESG tercapai.
“Di Indonesia sudah wajib itu. Apalagi nanti ada taksonomi versi kedua ya,” kata dia.
Selain itu menurutnya kinerja ESG yang baik berpeluang mendapatkan penghargaan, meningkatkan kepercayaan investor, hingga menarik pemegang saham baru.
Oleh sebab itu, Maria menilai paradigma perusahaan harus bergeser. Menurutnya, ESG bukan lagi sebatas memenuhi standar kepatuhan, melainkan strategi penting untuk meraih peluang dan memperkuat daya saing.
“Karena ada banyak insentif-insentif bagi perusahaan atau pelaku ekonomi,” pungkasnya.