Jepang kembali diwarnai aksi demonstrasi. Ribuan orang tumpah ruah ke jalanan Tokyo, Osaka, hingga Yokohama, menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah yang disebut akan membuka keran imigrasi besar-besaran bagi pekerja asal India.

Kekhawatiran Masyarakat
Bagi sebagian warga, kebijakan ini bukan sekadar soal tenaga kerja. Mereka menilai masuknya imigran dalam jumlah besar dapat mengubah wajah sosial dan budaya Jepang yang selama ini dikenal disiplin serta sangat menjaga tradisi. Kekhawatiran ekonomi juga tak kalah kuat: imigran dianggap berpotensi menekan gaji pekerja lokal, khususnya di sektor manufaktur dan teknologi informasi.

Spanduk bertuliskan “Lindungi Budaya Jepang” dan “Prioritaskan Tenaga Lokal” mewarnai aksi yang berlangsung damai, namun menunjukkan resistensi nyata dari publik.

Pemerintah Beralasan Krisis Demografi
Di balik pro dan kontra, pemerintah Jepang menegaskan bahwa kebijakan imigrasi ini lahir dari kebutuhan mendesak. Populasi menurun drastis, usia produktif kian menyusut, sementara sektor teknologi, kesehatan, dan konstruksi mulai kewalahan kekurangan pekerja.

Otoritas juga memastikan regulasi ketat akan diterapkan. Imigran diwajibkan mengikuti program adaptasi budaya dan bahasa agar potensi gesekan sosial bisa diminimalisasi.

Sikap India
Pemerintah India menyambut baik rencana tersebut. Dengan bonus demografi berupa jutaan tenaga kerja muda terampil, India melihat peluang kerja di Jepang sebagai keuntungan dua arah: Jepang terbantu mengatasi krisis tenaga kerja, sementara India membuka lapangan kerja bagi warganya.

Tantangan Besar di Depan
Meski demikian, penolakan yang meluas memperlihatkan betapa sulitnya Jepang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan kekhawatiran sosial warganya. Apakah kompromi akan tercapai? Atau justru kebijakan ini menjadi batu sandungan bagi pemerintah? Masa depan imigrasi Jepang kini berada di titik krusial.