Jakarta, 22 Agustus 2025 – WAKIL Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Mohamad Hekal berkomentar soal polemik tunjangan rumah DPR rumah senilai Rp 50 juta per bulan. Menurut dia tambahan dana tersebut masih wajar dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Kita ini kan tentu bukan mau berfoya-foya dengan uang rakyat, tapi tunjangan saya rasa masih in line lah dengan apa yang sekarang berlaku,” ucap Hekal ketika ditemui seusai diskusi Crypto Conference di Tabanan, Bali, Kamis, 21 Agustus 2025.

Bahkan, Hekal beranggapan bahwa tunjangan penghasilan untuk DPR RI yang rata-rata berdomisili di Jakarta itu masih lebih rendah dibanding yang didapatkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di beberapa tempat di Pulau Jawa. “Jadi kalau menurut saya sih bukan ada yang berlebihan juga.”

Politikus partai Gerindra ini menjelaskan bahwa tunjangan perumahan diberikan sejak anggota dewan tak lagi mendapat rumah dinas. Karena rumah dinas DPR sudah dikembalikan seluruhnya. Hekal khawatir bila tunjangan diberikan sangat minim, ada celah bagi oknum mencari jalan-jalan untuk mencari dana dengan cara lain. “Yang mungkin malah lebih bahaya,” ucapnya.

Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan anggota DPR periode 2024-2029 tidak lagi menerima fasilitas Rumah Jabatan Anggota atau RJA. karena itu mulai tahun 2025, Sekretariat Jenderal DPR tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk pemeliharaan rumah jabatan di Kalibata.

“Sehingga ditetapkanlah mekanismenya menjadi pemberian tunjangan perumahan kepada anggota DPR RI, sebagai kompensasi atas tidak disediakannya lagi RJA bagi para anggota DPR,” kata Indra ketika dihubungi Senin, 18 Agustus 2025.

Indra menyebut penetapan besaran tunjangan dilakukan melalui administrasi formal dengan Kementerian Keuangan. Secara prinsip, ia mengatakan usulan Sekretariat Jenderal DPR disetujui oleh Kementerian Keuangan pada Agustus 2024 dengan besaran sekitar Rp 50 juta setelah dipotong pajak.

Patokan atau benchmark yang digunakan untuk menentukan angka itu berasal dari besaran tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengkritik kebijakan tersebut. Angka tunjangan itu dinilai terlalu besar. “Tidak mencerminkan sense of crisis bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang efisiensi dan masyarakat sedang menghadapi tekanan daya beli,” kata dia.

Berdasarkan data Celios, rata-rata pengeluaran per kapita untuk sewa rumah di Jakarta saat ini Rp 819 ribu per bulan. Dia menilai wakil rakyat seharusnya mengacu pada rata-rata biaya rakyat yang mereka wakilkan. Sebab, jika angkanya mencapai Rp 50 juta per bulan, kesenjangannya amat lebar dengan kenyataan di lapangan.